April 6, 2019

Alam Tak Hanya



Suatu hari yang tidak direncanakan , begitu saja ternyata aku sudah tiba di Museum Geologi, Bandung. Benar-benar tanpa rwencana, tetapi justru ketika tidak terlalu berharap menemukan apa-apa malahan menemukan diri gagal total menyembunyikan kekaguman. Bukan hanya kagum ternyata Museum ini memiliki T-rex, selain juga kerangka stegodon (gajah purba) serta fosil Trilobite yang sudah punah ratusan juta tahun silam.
Kagum terutama karena Museum ini sangat berhasil menyajikan betapa dekatnya Geologi dengan kehidupan kita. Bahkan bukan hanya Geologi tetapi betapa alam ada ditengah-tengah kita. Bahwa alam tak hanya pohon-pohon, gunung-gunung, langit biru, udara segar, sekuntum bunga. Bahkan ketika kita duduk bersama, untuk makan malam, misalnya, alam sesungguhnya telah menampakkan kehadirannya dengan cara yang sangat akrab.

Di tengah-tengah alam

Sekali-kali, sebelum makan mari kita memberikan sedikit perhatian terhadap makanan. Darimana asal nasi dan sayur-sayuran. Kita semua tahu, tanah telah tumbuhkan; benih yang beranikan dirinya untuk menyambut matahari. Angin, hujan, dan pagi yang menyapa. Walang dan keong mas yang juga hendak ikut merayakan kehidupan di sepetak sawah.

Ritual serta kisah tentang kehidupan manusia di seputar tani. Cerita dari sawah, selalu terlalu kaya, bahkan untuk diceritakan dalam satu buku. Singkat kata saja, makanan adalah undangan alam untuk kita mengambil bagian kembali dalam keberadaannya.
SekaIi-kali juga, sebelum makan mari kita nikmati dengan rasa ingin tahu perabot yang ada di meja. Piring, gelas yang transparan, sendok. Darimanakah mereka berasal. Barangkali bahwa mereka lahir dari alam adalah sesuatu yang tidak kita kira.
Begitulah hari itu di Ruang Geologi dalam Kehidupan (Museum Geologi), dengan satu exhibit kecil, hanya berupa papan informasi, mengantarku kepada pencerahan kecil. Bahwa alam tidak seluas daun kelor. Alam tidak sesempit definisi yang manusia berikan kepadanya. Alam adalah juga sebuah piring makan, atau sendok teh.
Papan informasi itu sebenarnya ‘hanya’ menceritakan piring keramik yang kita gunakan dibuat dari bahan dasar pasir kuarsa dan lempung. Sendok dan garpu dari bahan dasar bijih nikel. Sedangkan bahan dasar untuk membuat kaca adalah kuarsa yang bisa dilihat contohnya di Ruang Geologi Indonesia. Semua bahan dasar ini memiliki satu nama umum: mineral. Dari manakah mineral berasal?
Mineral dalam bahasa Indonesia disebut juga bahan tambang atau bahan galian. Dari nama ini dengan segera kita dapat mengetahui bahwa mereka pada mulanya terdapat di dalam tanah. Dengan kata lain mineral adalah anak-anak kandung Bumi. Perabot makan yang kita gunakan ini, berasal dari mineral yang dilahirkan Bumi. Mari kita merasa, tentang piring, sendok, garpu, gelas, yang dibuat dari bahan dasar yang telah ditambang dari Bumi, telah lahir darinya. Kini dalam rupanya yang jadi, mengemban amanah bahwa napas itu mengandung bakti.
Sekali-kali sebelum makan, mari kita rasakan juga meja dan kursi yang ada. Terbuat dari kayu yang pohon-pohonnya Bumi tumbuhkan dalam janjinya kepada Sang Pencipta bahwa dia akan mengayomi kehidupan. Janji itu telah menjadi sakral sebab adalah Sang Pencipta sendiri yang mengingatnya dengan kasih yang abadi.

Alam, sesungguhnya memang tidak pernah hanya sesempit pohon-pohon dan telaga yang bening. Tidak hanya ketika dia adalah Danau Toba, Gunung Tangkuban Perahu, atau Pantai Parangtritis. Dia adalah juga secangkir air putih, sebuah sendok makan. Bahkan, alam juga adalah kita.


Menghormati alam

Setiap entitas (baik yang kita kategorikan ke dalam kelompok manusia, makhluk, benda, dll) di alam, memiliki denyutnya (baca: nada). Denyut yang menandakan kehidupan. Denyut nada inilah yang melahirkan koor raksasa di panggung semesta ini. Namun koor ini akan kehilangan keharmonisannya ketika entitas kehilangan keselarasan denyut dalam dirinya.
Bahasa Mandarin memiliki istilah ‘zou yin’, artinya sumbang. Dua kata ini berturut-turut berarti ‘berjalan’ dan ‘nada’. Lebih mantap lagi dalam dialek Hokkian, yang menyebut sumbang dengan istilah yang artinya ‘nadanya lari’. Seberapa jauh nada kita telah lari sehingga koor semesta tidak hanya tak lagi terdengar merdu tetapi bahkan bagai mantra pemanggil bencana dan air mata. Untuk mendapatkan jawabannya, lihat saja ke dalam hati kita sendiri.
Hanya ketika manusia mampu menyelaraskan kembali nada nurani dengan tindak-tanduk dan ucap katanya maka keharmonisan akan lahir dari dirinya. Sebuah cara yang akan sangat membantu manusia kembali kepada nada dirinya yang harmonis adalah belajar kembali mengetahui atau dengan kata lain merasakan kehadiran, peka akan alam dalam hidupnya. Untuk itu tidak hanya kita perlu belajar dan mengetahui betapa alam dalam bentuk yang beda telah mengayomi dan mempermudah hidup kita. Satu hal yang tak pernah kalah penting adalah menghormati alam.

Pertanyaannya adalah bagaimana membangun hidup yang menghormati alam dan semakin peka terhadap kehadirannya. Saya percaya, hidup yang menghormati alam hanya memiliki satu kata kunci. Kata itu adalah hidup sederhana. Mengapa perlu memili begitu banyak dan macam-macam cangkir jika untuk minum kita hanya perlu satu. Semoga, kalimat kecil ini bisa mengatakan banyak hal kepada kita. Sesungguhnya juga tidakkah menghormati alam akhirnya adalah sebuah cara manusia menghormati dirinya sendiri dengan semesta.


( source : Majalah  Maitreya 2 )

No comments:

Post a Comment