Suatu hari yang
tidak direncanakan , begitu saja ternyata aku sudah tiba di Museum Geologi,
Bandung. Benar-benar tanpa rwencana, tetapi justru ketika tidak terlalu
berharap menemukan apa-apa malahan menemukan diri gagal total menyembunyikan
kekaguman. Bukan hanya kagum ternyata Museum ini memiliki T-rex, selain juga
kerangka stegodon (gajah purba) serta fosil Trilobite yang sudah punah ratusan
juta tahun silam.
Kagum terutama
karena Museum ini sangat berhasil menyajikan betapa dekatnya Geologi dengan
kehidupan kita. Bahkan bukan hanya Geologi tetapi betapa alam ada
ditengah-tengah kita. Bahwa alam tak hanya pohon-pohon, gunung-gunung, langit
biru, udara segar, sekuntum bunga. Bahkan ketika kita duduk bersama, untuk
makan malam, misalnya, alam sesungguhnya telah menampakkan kehadirannya dengan
cara yang sangat akrab.
Di tengah-tengah
alam
Sekali-kali, sebelum
makan mari kita memberikan sedikit perhatian terhadap makanan. Darimana asal
nasi dan sayur-sayuran. Kita semua tahu, tanah telah tumbuhkan; benih yang
beranikan dirinya untuk menyambut matahari. Angin, hujan, dan pagi yang
menyapa. Walang dan keong mas yang juga hendak ikut merayakan kehidupan di
sepetak sawah.
Ritual serta kisah
tentang kehidupan manusia di seputar tani. Cerita dari sawah, selalu terlalu
kaya, bahkan untuk diceritakan dalam satu buku. Singkat kata saja, makanan
adalah undangan alam untuk kita mengambil bagian kembali dalam keberadaannya.
SekaIi-kali juga,
sebelum makan mari kita nikmati dengan rasa ingin tahu perabot yang ada di
meja. Piring, gelas yang transparan, sendok. Darimanakah mereka berasal.
Barangkali bahwa mereka lahir dari alam adalah sesuatu yang tidak kita kira.
Begitulah hari itu di Ruang
Geologi dalam Kehidupan (Museum Geologi), dengan satu exhibit kecil, hanya
berupa papan informasi, mengantarku kepada pencerahan kecil. Bahwa alam tidak
seluas daun kelor. Alam tidak sesempit definisi yang manusia berikan kepadanya.
Alam adalah juga sebuah piring makan, atau sendok teh.
Papan informasi itu
sebenarnya ‘hanya’ menceritakan piring keramik yang kita gunakan dibuat dari
bahan dasar pasir kuarsa dan lempung. Sendok dan garpu dari bahan dasar bijih
nikel. Sedangkan bahan dasar untuk membuat kaca adalah kuarsa yang bisa dilihat
contohnya di Ruang Geologi Indonesia. Semua bahan dasar ini memiliki satu nama
umum: mineral. Dari manakah mineral berasal?
Mineral dalam bahasa
Indonesia disebut juga bahan tambang atau bahan galian. Dari nama ini dengan
segera kita dapat mengetahui bahwa mereka pada mulanya terdapat di dalam tanah.
Dengan kata lain mineral adalah anak-anak kandung Bumi. Perabot makan yang kita
gunakan ini, berasal dari mineral yang dilahirkan Bumi. Mari kita merasa,
tentang piring, sendok, garpu, gelas, yang dibuat dari bahan dasar yang telah
ditambang dari Bumi, telah lahir darinya. Kini dalam rupanya yang jadi,
mengemban amanah bahwa napas itu mengandung bakti.
Sekali-kali sebelum
makan, mari kita rasakan juga meja dan kursi yang ada. Terbuat dari kayu yang
pohon-pohonnya Bumi tumbuhkan dalam janjinya kepada Sang Pencipta bahwa dia akan
mengayomi kehidupan. Janji itu telah menjadi sakral sebab adalah Sang Pencipta
sendiri yang mengingatnya dengan kasih yang abadi.
Alam, sesungguhnya
memang tidak pernah hanya sesempit pohon-pohon dan telaga yang bening. Tidak
hanya ketika dia adalah Danau Toba, Gunung Tangkuban Perahu, atau Pantai
Parangtritis. Dia adalah juga secangkir air putih, sebuah sendok makan. Bahkan,
alam juga adalah kita.
Menghormati alam
Setiap entitas (baik
yang kita kategorikan ke dalam kelompok manusia, makhluk, benda, dll) di alam,
memiliki denyutnya (baca: nada). Denyut yang menandakan kehidupan. Denyut nada
inilah yang melahirkan koor raksasa di panggung semesta ini. Namun koor ini
akan kehilangan keharmonisannya ketika entitas kehilangan keselarasan denyut
dalam dirinya.
Bahasa Mandarin
memiliki istilah ‘zou yin’, artinya sumbang. Dua kata ini berturut-turut
berarti ‘berjalan’ dan ‘nada’. Lebih mantap lagi dalam dialek Hokkian, yang
menyebut sumbang dengan istilah yang artinya ‘nadanya lari’. Seberapa jauh nada
kita telah lari sehingga koor semesta tidak hanya tak lagi terdengar merdu
tetapi bahkan bagai mantra pemanggil bencana dan air mata. Untuk mendapatkan
jawabannya, lihat saja ke dalam hati kita sendiri.
Hanya ketika manusia
mampu menyelaraskan kembali nada nurani dengan tindak-tanduk dan ucap katanya
maka keharmonisan akan lahir dari dirinya. Sebuah cara yang akan sangat
membantu manusia kembali kepada nada dirinya yang harmonis adalah belajar
kembali mengetahui atau dengan kata lain merasakan kehadiran, peka akan alam
dalam hidupnya. Untuk itu tidak hanya kita perlu belajar dan mengetahui betapa
alam dalam bentuk yang beda telah mengayomi dan mempermudah hidup kita. Satu hal
yang tak pernah kalah penting adalah menghormati alam.
Pertanyaannya adalah bagaimana
membangun hidup yang menghormati alam dan semakin peka terhadap kehadirannya.
Saya percaya, hidup yang menghormati alam hanya memiliki satu kata kunci. Kata
itu adalah hidup sederhana. Mengapa perlu memili begitu banyak dan macam-macam
cangkir jika untuk minum kita hanya perlu satu. Semoga, kalimat kecil ini bisa
mengatakan banyak hal kepada kita. Sesungguhnya juga tidakkah menghormati alam
akhirnya adalah sebuah cara manusia menghormati dirinya sendiri dengan semesta.
( source :
Majalah Maitreya 2 )
No comments:
Post a Comment