April 30, 2013

~ Maha Tao Maitreya ~


Maha Tao Maitreya
 
Tujuan Maha Tao Maitreya adalah merealisasikan moral kebajikan berdasarkan hati nurani, menjalankan maha bakti, mengamalkan Pancasila Buddhis, mengubah tabiat jelek ( misalnya berjudi, bermabukan dan sebagainya ), menaati hukum, menghemat sandang pangan ( termasuk sebutir nasi dan setetes air ), bersyukur kepada langit dan bumi, hidup bersahaja demi kesejahteraan generasi berikut, meneladani sifat luhur para Buddha Bodhisatva, hidup penuh kesabaran dan ketabahan, tidak temperamental, berlapang dada, niscaya rezeki akan berlimpah. Wajah penuh kasih dan senantiasa tertawa riang akan dapat menghilangkan penderitaan dan keresahan. Beberapa dasa warsa silam, dalam sebuah media televisi nasional ada mempromosikan hidup sehat melalui tertawa. Ilmu kedokteran juga telah membuktikan bahwa tertawa itu adalah sehat. Tertawa adalah ciri khas Buddha Maitreya.


Apakah hati nurani itu ? Tenggang rasa dan tidak melukai orang lain adalah perwujudan hati nurani. Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Wakil Presiden Tiongkok, Hu Jin Tao (2002) saat berpidato di Kuala Lumpur-Malaysia, “Apa yang tidak dikehendaki oleh diri sendiri, jangan diberikan kepada orang lain.”Ini adalah kutipan yang diajarkan oleh Orang Suci terdahulu, yang ternyata selaras dengan apa yang disampaikan dalam Ajaran Maha Tao Maitreya . Jikalau semua pemimpin Negara dapat merealisasikan kalimat tersebut diatas, maka kekacauan dan peperangan di dunia ini akan berkurang bahkan berhenti.

Mengapa dalam Ajaran Maha Tao Maitreya tidak mengutamakan pembacaan paritta suci ? Hal ini juga tidak terlepas dari ajaran Sang Buddha Sakyamuni yang memang tidak mewajibkan pengikut-Nya untuk membaca paritta suci. Sesuai dengan karakteristik Agama Buddha yang dinamis dan berkembang ( Mahayana ) dengan sejumlah aliran yang ada. Buddhisme Zen yang diajarkan oleh Bodhidharma adalah salah satu aliran yang tidak mengutamakan pembacaan paritta suci. Master Bodhidharma asal India menyebarkan ajaran hingga ke Tiongkok pada masa pemerintahan Kaisar Liang Wu Di, tidak ada satu kitab suci pun yang dibawa datang oleh Beliau. Catatan Sutra Budhis Mahayana ada tertulis,” Bodhidharma datang dari India tanpa membawa satu aksara (kitab) apapun juga, semua mengandalkan pembinaan dan keinsafan jiwa. Jikalau mencari Sang Buddha melalui aksara dan tulisan , maka menghabiskan tinta sebanyak air di sungai, tetap tidak akan menemukan Sang Buddha “. Agama Buddha yang terdiri dari mazhab Theravada, Mahayana dan Tantrayana; masing-masing memiliki metode dan cara pembinaan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama yakni kesadaran diri. Begitu pula Ajaran Maha Tao Maitreya memiliki karakteristik pembinaan yang tersendiri pula.

Patriat Buddhisme Zen ke-6, Master Hui Neng, pada era Dinasti Tang di Propinsi Guangdong, Distrik Nanhua, adalah Mahaguru yang buta huruf dan tidak bisa mengeja aksara, terlebih-lebih tidak bisa membaca paritta suci; namun Beliau dikenang sebagai Master Buddhisme Zen yang terkemuka dalam sejarah Agama Buddha Mahayana. Salah satu Sutra Buddhis Maharatnakuta yang berisi sabda Sang Buddha Sakyamuni tentang Maiteya telah dibaca dan dikaji generasi demi generasi. Ringkasan utama dari sutra tersebut adalah tentang masa kedatangan Maitreya . Ada sebagian orang menganggap kedatangan Maitreya masih lama sampai milyaran tahun kemudian, tap bagi umat Buddhis Maitreya ditafsirkan adalah masa kini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kondisi Bumi di masa sekarang yang sudah mengalami ancaman dan krisis; mulai dari menipisnya lapisan ozon, pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan pemerataan sumber daya alam (pangan), wabah penyakit, semua ini telah menjadi sebab jodoh yang matang bagi kedatangan Maitreya. Kalau menunggu sampai musnahnya manusia dan dunia ini, maka kedatangan Maitreya tidak memiliki makna lagi.

Dalam Sutra Buddhis juga tercatat bahwa pernah suatu ketika Sang Buddha melambaikan Bunga Bala, yang direspon dengan senyuman oleh Maha Kassyapa. Ini adalah transmisi sejati dari hati ke hati oleh Sang Buddha Sakyamuni tanpa perlu aksara tulisan dan bahasa. Dalam Sutra Intan jelas tertulis,” Barang siapa yang mencari Aku melalui bunyi suara dan  bahasa, maka orang tersebut selamanya tidak akan pernah menemukan Sang Tathagatha.” Berdasarkan kutipan-kutipan diatas, maka inilah menjadi dasar alasan utama mengapa dalam Ajaran Maha Tao Maitreya tidak mengutamakan pembacaan paritta suci. Ajaran Maha Tao Maitreya mengajarkan semangat ke-Bodhisatvaan dengan berkarya dalam penyelamatan orang lain. Jika penderitaan orang lain telah terselesaikan, maka kesempurnaan kesucian diri sendiri akan tercapai dengan sendirinya. Inilah yang disebut dengan pengamalan hati nurani.

Jika hati nurani setiap manusia telah teraktualisasi , maka perwujudannya adalah moral kebajikan berupa bakti kepada orang tua, saling menyayangi di antara sesama saudara hingga setiap keluarga menjadi harmonis, masyarakat menjadi tenteram, Negara menjadi makmur dan dunia menjadi damai sentosa. Pada abad ke-16, seorang peramal mengatakan kelak di dunia ini akan ada kekuatan yang bisa menyatukan semua umat manusia .

Bagi kita, tafsirannya adalah kekuatan hati nurani. Hati nurani begitu bening dan suci, tiada sekat pemisah antara suku, agama, warna kulit, ras dan kepercayaan . Kalau dunia tidak ada lagi jarak pemisah, maka impian dunia satu keluarga akan terwujud. Inilah yang menjadi cita-cita utama dari Ajaran Maha Tao Maitreya.

Oleh : Maha Sesepuh Gautama Hardjono
Ditulis Kembali Oleh : Pdt. Satya Vira, S.Pd.B

***

No comments:

Post a Comment