“ Kebahagiaan,
setiap orang mendambakannya. Setiap orang meretas asa untuk mendapatkannya. Tak
ada seorangpun yang
menolaknya. Semua orang mencarinya. Ada yang kemudian menemukannya. Namun
banyak yang tak pernah mengenalnya. Sesungguhnya adakah kebahagiaan itu? “
Kita baru merasakan
kebahagiaan ketika mendapatkan apa yang didambakan dan diimpikan. Memiliki apa
yang dicari dan diinginkan. Harta, kekayaan, ketenaran, kedudukan, jabatan,
kecantikan, pujian, adalah sederetan impian dan harapan manusia pada umumnya. Kebanyakan
manusia beranggapan, dengan memiliki semua itu barulah bisa menjadi orang yang
paling berbahagia di dunia ini.Lalu apakah kebahagiaan itu betul- betul hadir
Ketika lambang-lambang 'kebahagiaan' itu direnggut dari kita satu-persatu,
apakah kebahagiaan itu masih akan eksis di dalam diri?
Orang yang sebelumnya memuji dan menyanjung kita berganti mencaci dan menghina
kita. Dunia serasa sungguh tidak adil. Kebahagiaan berganti menjadi kesedihan,
kekecewaan dan sakit hati. Kebahagiaan itu kini berada di titik 'tiada'.
Jika hidup hanya
diisi dengan kesedihan, kekecewaan, kebencian, dan sakit hati, bukankah
sesungguhnya yang rugi diri kita sendiri? Sama halnya kita mengusir kebahagiaan
dalam diri. Belajarlah untuk melupakan, terima dengan ikhlas dan memaafkan.
Maka itu berarti kita mulai memberi sedikit ruang untuk kebahagiaan hadir dalam
diri.
Belajarlah untuk
meneladani pribadi Buddha Maitreya yang dipukul tidak melawan, dimarahi tidak
membalas. Dharma Hati Buddha Maitreya yang luhur ini kelihatannya begitu
sederhana untuk dilakukan tetapi memang kenyataannya tidak
semudah itu untuk dipraktikkan. Perlu banyak pengorbanan dibaliknya termasuk
mempertaruhkan dan mengorbankan segala ego dan keangkuhan diri. Setiap orang
memiliki ego dan sisi keangkuhannya sendiri. Selama ini kepala ditarik terlalu
tinggi sehingga kepala begitu sulit direndahkan untuk sekedar
memperhatikan dan empati kepada sesama. Ada keangkuhan yang terlalu besar
sehingga sulit memaafkan orang lain. Keangkuhan yang akhirnya menggiring
seseorang menjadi pendendam seumur hidupnya. Jika ingin bahagia, kita harus
mulai belajar bersikap rendah hati dan meninggalkan segala ego diri. Jadi
kebahagiaan itu ada ketika kita mampu memaafkan orang lain dengan lapang dada
dan berbesar hati seperti Buddha Maitreya.
Kebahagiaan itu
hadir dan ada dalam hidup ketika kita mulai selalu bersyukur atas segala yang
dimiliki
dan dihadapi. Selama
kita masih terus mengejar limpahan kenikmatan duniawi, semakin jauh dari rasa
syukur, maka
kebahagiaan akan semakin menjauh dalam hidup kita. Jika hidup kita tanpa pernah
merasa
puas dan cukup, tak
pernah berhenti berkeluh-kesah dan tak pernah puas atas apa yang telah
dimiliki,
bagaimana kita bisa
hidup dengan bahagia?
Kebahagiaan tak akan
ada jika kita terus mengejar dan mendapatkan segala yang didambakan.
Kebahagiaan menjadi ada ketika kita mampu melepaskan segala ketercekatan atas
keinginan demi keinginan yang tak habis-habisnya, ketika kita mampu melepaskan
diri dari keserakahan, kerakusan dan keegoisan. Mengapa harus menjadi orang
yang menderita dan selalu berkeluh-kesah? Mengapa tak belajar untuk bersyukur
dan berkata 'cukup'? Ketika kita mampu bersyukur atas apapun yang terjadi dan
dimiliki, ketika kita berani untuk mengatakan 'cukup' maka saat itupun
kebahagiaan ada di dalam hidup kita.
Kebahagiaan adalah
respon hati atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Jadi sesungguhnya
kebahagiaan itu ada dalam diri kita. Kebahagiaan menjadi milik kita ketika kita
mampu memancarkan Hati Nurani. ltulah kebahagiaan yang abadi. Ketika kita mampu
memancarkan nurani dengan bersikap besar hati dan berlapang dada memaafkan
orang lain yang telah menyakiti kita, itulah kebahagiaan. Berterima-kasihlah
kepada orang-orang yang menyakiti dan menguji kesabaran kita. Karena pada saat
itulah kesempatan emas bagi kita untuk memancarkan Hati Nurani kita.
Adakalanya sebagai
manusia sesat kita merasa tidak adil. Mengapa begini, mengapa harus begitu?
Ketika kita merasa
diperlakukan tidak adil, tetapi kemudian kita mampu berlapang dada dan menerima
semuanya dengan segala ketabahan, maka kita akan bahagia. Lebih baik hidup
bahagia kan ketimbang
memupuk sakit hati
dan dendam yang tak habis-habisnya. Bukankah membenci atau dendam dengan
orang lain itu
sangat menderita?
Mengapa tak melepas
penderitaan dan membiarkan kebahagiaan dalam diri memancar keluar? Ketika kita
sudah mampu melakukan seperti itu, maka kebahagiaan tidak lagi berada antara
ada dan tiada. Tetapi kebahagiaan itu akan terus ada dan bukan tiada.
Apapun yang terjadi,
bagaimanapun keadaannya, berpikirlah positif terhadap hidup ini. Pola pikir
kita
menjadi salah satu
poin utama untuk merasakan kebahagiaan. Ketika kita mampu berpikir positif,
maka kebahagiaan itu menjadi ada. Sebaliknya meski sudah memiliki segalanya,
tetapi lantaran terus berpikiran negatif maka kebahagiaan yang semestinya sudah
dimilikipun bisa hilang sekejap mata.
Kebahagiaan selalu
ada bagi orang-orang yang mampu menghargai kebahagiaan. Kebahagiaan akan ada
untuk mereka yang tak pernah berhenti bersyukur dan beriman kepada Tuhan.
Kebahagiaan ada untuk mereka yang mampu melepaskan diri dari segala
ketercekatan dan kesesatan. Kebahagiaan spontan ada bagi mereka yang mampu
memancarkan Hati Nuraninya. Jadi apakah kebahagiaan itu ada dan sudah dimiliki?
Atau kebahagiaan itu masih menjadi antara ada dan tiada? Kitalah yang
menentukannya!
***
Penulis : Eny Chandra
No comments:
Post a Comment