March 14, 2014

~ Maitreya Sebagai Dewa Sakka Menghidupkan Kembali Putra yang Berbakti ~


Sumber : Sutra Sad Paramita

             Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda yang membina diri. Ia memiliki semangat mengembangkan cinta kasih dan melakukan banyak hal yang berjasa bagi umat manusia. Ia berbelas kasihan pada kesesatan umat manusia yang tak mampu mendapatkan Tri Mustika ajaran Buddha.

Ia mengikuti kedua orang tuanya menetap di daerah perbatasan pegunungan . Kedua orang tuanya telah berusia lanjut dan buta pula. Pemuda tersebut kerap bersedih hingga berlinang air mata manakala menyadari kondisi kedua orang tuanya. Ia merawat kedua orang tuanya dengan penuh kesungguhan, selalu di tengah malam terbangun berkali-kali memperhatikan kondisi ayah bundanya. Keluhuran kebajikannya tersohor dimana-mana. Dewa di alam sorga, Setan di alam neraka, Raja Naga di lautan dan umat manusia di berbagai penjuru mengetahui prilaku baktinya yang amat menggugah hati itu.

Pemuda tersebut mengamalkan Sepuluh Kebajikan ( Dasa Paramita ); tidak membunuh, menjunjung moral, hidup suci, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak menipu, tiada ketamakan dan kebencian, hidup penuh kedamaian dan ketentraman. Ia sangat percaya akan kebenaran hukum karma, bahwa segala perilaku bajik maupun batil pasti akan menerima balasannya. Ia hidup bersahaja, penuh kesucian tanpa nafsu dan bercita-cita mulia menjalankan Buddha-Dharma.

Di pegunungan terdapat sumber mata air yang mengalir dan ditumbuhi bunga teratai. Pohon-pohon yang rimbun dengan buahnya yang manis tumbuh di empat penjuru mengelilingi sumber mata air tersebut. Setiap pagi, ia bangun dan pergi memetik buah-buahan untuk disuguhkan kepada kedua orang tuanya. Buah yang dipetik itu harus dicicipi terlebih dahulu oleh kedua orang tuanya, baru kemudian ia menyusul mencicipinya. Perilaku baktinya amat menggugah setiap orang bahkan hewan-hewanpun datang menghampirinya untuk menjadi sahabat.

Suatu hari, kedua orang tuanya merasa haus. Si pemuda pun bergegas pergi mengambil air ke arah pegunungan . Kebetulan saat itu, Raja Kapila sedang berburu di pegunungan tersebut. Sang raja bermaksud memanah seekor rusa, namun malangnya anak panah melesat mengenai dada si pemuda. Racun panah bereaksi dengan cepat, menimbulkan sakit yang luar biasa. Ia melihat ke sekitar, sambil berlinang air mata dan berseru,” Siapa gerangan yang telah memanahku ? Kedua orang tuaku telah berusia lanjut dan buta. Jika kehilangan saya, mereka pasti akan meninggal dunia karena tiada yang menjaga.” Lalu, ia berkata dengan pilu,” Berburu gajah adalah untuk mendapatkan gadingnya, berburu badak demi mendapatkan culanya, memanah burung cantik untuk mendapatkan bulunya. Saya tidak mempunyai gading, cula dan bulu yang menyilaukan mata. Mengapa harus memanah saya hingga begitu tragis ?”

Raja kapila mendengar kata-kata yang penuh kepiluan, bergegas turun dari kuda untuk menhampirinya dan bertanya,” Mengapa kamu datang ke pedalaman pegunungan di sini ?” Si pemuda menjawab,” Saya mengikuti kehendak kedua orang tua untuk menetap di pegunungan ini demi meninggalkan kekotoran duniawi dan membina untuk mensucikan diri.”

Setelah sang raja mendengar jawabannya, beliau terharu hingga turut menangis dan berkata dengan pilu,” Saya sungguh seorang raja yang tak mempunyai hati cinta kasih. Telah berburu banyak hewan, juga telah mencelakai seorang suci yang sangat berbakti dan berkebajikan ini. Lantas, apa yang harus saya lakukan ?” Raja menyesal karena kesenangan dirinya berburu telah mendatangkan penderitaan bagi orang lain. Para pejabat dan pengawal yang ikut menyertai sang raja juga turut bersedih.

Sang raja berkata dengan serius,” Sebagai seorang raja, saya memberikan jaminan kepadamu. Tunjukkanlah dimana tempat tinggal kedua orang tuamu, saya akan mengakui segala kesalahan yang telah saya perbuat ini.” Si pemuda berkata sambil menunjuk,” Berjalanlah menyusuri jalan setapak ini, tidak berapa jauh kemudian, Baginda akan melihat ada sebuah gubuk rumput, disanalah kedua orang tuaku menetap. Mohon sampaikan kepada kedua orang tuaku, sejak hari ini saya akan berpisah dengan mereka untuk selama-lamanya. Semoga mereka dapat menghabiskan sisa hidup dengan penuh kebahagiaan, jangan sampai melukai diri sendiri karena merindukan saya.” Usai itu, ia kembali menangis penuh kepiluan dan tidak lama kemudian meninggal dunia . raja beserta segenap prajurit juga turut menangis penuh rasa haru.

Rombongan raja mengikuti petunjuk arah yang telah diberikan dan dengan mudah menemukan tempat kediaman kedua orang tua si pemuda. Suara derap langkah pasukan kuda telah menimbulkan kecurigaan bagi kedua orang tuanya akan kedatangan orang asing,” Siapa gerangan orang yang datang menghampiri rumahku?” Sang raja menjawab,” Saya adalah Raja Kapila.” Kedua orang tuanya berkata,” Oh, Paduka Raja telah tiba di sini, sungguh langka sekali. Di sana terdapat tikar jerami yang bersih, silakan Paduka duduk dan beristirahat sejenak. Ada banyak buah-buahan pegunungan yang manis, silahkan Paduka mencicipinya. Putraku sedang pergi mengambil air, dia akan segera pulang.”

Melihat sambutan hangat dari kedua orang tua itu, raja kembali merasa sedih dan menangis. Sang raja berkata kepada mereka,” Saya melihat anda berdua menyambut saya dengan penuh kehangatan. Saya hanya ingin menyampaikan penyesalan yang mendalam bahwa putra kalian telah tewas oleh kesalahan bidikan panah saya.” Kedua orang tuanya terperanjat dan bertanya,” Apa gerangan kesalahan yang telah diperbuat oleh putraku? Mengapa Baginda harus membunuhnya ? Putraku selalu mempraktikkan cinta kasih terhadap semua orang, bahkan saat berjalan pun ia takut melukai makhluk lain.” Raja menjawab,” Putra kalian sungguh anak  yang sangat berbakti dan patut dijunjung karena menjalani kehidupan suci. Saat saya berburu rusa, tanpa sengaja anak panah saya meleset dan mengenai tubuhnya.” Kedua orang tuanya berkata,” Putraku telah tiada, kelak kami harus mengandalkan siapa untuk meneruskan sisa hidup kami ? Kami memutuskan untuk segera mengakhiri hidup saja. Mohon Raja menuntun kami untuk melihat jasad putra kami. Mohon juga ia bisa dikuburkan sebagaimana layaknya.”

Mendengar permohonan mereka, sang Raja kembali menangis pilu. Ia sendiri langsung menuntun mereka berjalan hingga tiba di samping jasad putra mereka. Ayah memeluk kepala putranya dan menopang dengan lutut. Sementara ibunda memeluk kedua kaki putranya dan mencium sambil menangis terisak-isak. Masing-masing dari mereka menggunakan sebelah tangan meraba luka panah putra mereka, memukul dada lalu berseru ke hadapan langit,” Oh, Dewa Langit, Dewa Bumi, Dewa Pohon dan Dewa Air ! Putra kami menjunjung tinggi dan mengamalkan ajaran Buddha, dia berbakti kepada kami kedua orang tua, berhati kasih kepada sesama. Jikalau kesungguhan hatinya dalam mengamalkan ajaran Buddha dan prilaku baktinya dapat menggetarkan langit, maka jadikanlah anak panah akan tercabut dengan sendirinya, racun menjadi tawar tanpa bisa mematikan, sehingga akhirnya ia dapat hidup kembali! Namun, jikalau semua perbuatan putraku hanyalah kepalsuan belaka dan ucapan kami tidak benar adanya, maka biarkanlah kami berdua ikut mati bersamanya, melebur dan berubah menjadi debu tanah !”

Dewa Sakka, Catur Maharaja, Dewa Bumi dan Raja Naga mendengar jeritan kepiluan dari kedua orang tuanya, merasa tersentuh sekali. Dewa Sakka langsung turun ke dunia menjelma menjadi manusia dan datang ke tempat kerumunan mereka, lalu berkata kepada kedua orang tuanya,” Putra kalian adalah orang yang mengamalkan cinta kasih dan berprilaku bakti, saya mampu menghidupkan ia kembali.” Dewa Sakka menggunakan obat dewata lalu dimasukkan ke dalam mulut si pemuda yang telah meninggal dunia itu. Sungguh ajaib, sejenak kemudian si pemuda pun sadar kembali. Si pemuda dan kedua orang tuanya, serta rombongan raja yang berada disana hanyut dalam suasana kebahagiaan. Semuanya tersentuh hingga meneteskan air mata kesukacitaan.

Raja Kapila berkata,” Dengan mengamalkan ajaran Buddha dan menjalankan prilaku berbakti, sungguh dapat membuahkan hasil yang menakjubkan.” Selanjutnya, Raja menitahkan kepada pejabat dan rakyat di seluruh negeri untuk mengamalkan Sepuluh Kebajikan ( Dasa Paramita ), sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh si pemuda tadi. Seluruh negeri menaati dan menjalankan titah raja, hingga membawa kemakmuran dan ketentraman hidup bagi semua penduduk di kerajaan tersebut.

Sang Buddha berkata kepada para bhikku; “ Dalam setiap kelahiranKu, Aku selalu menjunjung tinggi ajaran Buddha dan mengamalkan prilaku bakti dengan penuh kesungguhan hati. Dengan alasan ini pula, amal kebajikanKu menjadi sempurna, Aku menjadi mulia di jagad raya ini. Ketahuilah, si pemuda di saat itu merupakan Aku di kehidupan lampau. Raja Kapila adalah Ananda. Ayahanda si pemuda adalah ayahandaKu saat ini, Raja Suddhodana. Ibunda si pemuda adalah ibundaKu saat ini, Permaisuri Maha Maya. Sedangkan, Dewa Sakka adalah Maitreya sekarang ini!”


***

No comments:

Post a Comment