良心忏悔的家庭
Sepasang suami istri cekcok besar sehingga melontarkan kata perceraian. Padahal masalah yang dihadapi hanya masalah sederhana saja yaitu menentukan sekolah bagi sang anak yang baru berumur 3 tahun. Mungkin kita berpikir bagaimana mungkin hanya karena masalah sederhana seperti ini bisa mengakibatkan perceraian. Tentu masalah ini hanya puncak dari gunung es yang selama ini terpendam. Akhirnya semua masalah ini 'meledak' ketika dipicu oleh masalah yang sederhana saja.
Berbeda adalah
sesuatu yang wajar terjadi dalam membangun keluarga. Karena masing-masing
pasangan
datang dari
latar belakang keluarga yang berbeda. Kebiasaan yang dibangun di lingkungan
masing-
masing ketika belum
berkeluarga juga berbeda. Karakter dan sifat yang dimiliki juga berbeda. Semua
menjadi tidak
bermasalah ketika masing- masing bisa belajar menerima dan membiasakan diri
dengan perbedaan dan bisa
saling menghormati. Tetapi yang sering terjadi adalah merasa diri paling benar
dan bersikukuh pada pendapat
sendiri. Hal inilah yang menyebabkan ketidakpuasan dengan pasangan dan mengarah
pada percekcokan.
Akibatnya masalah yang sederhana dan biasa akan menjadi ruwet dan luar biasa.
Bicaralah kesalahan sendiri
Menganggap
diri benar dan menyalahkan orang lain adalah sikap yang sering ada pada setiap orang.
Dan sikap inilah yang kita bawa sampai pada kehidupan berkeluarga dengan
pasangan kita. Saat menghadapi masalah dan konflik
dalam keluarga, kita cenderung menyalahkan pasangan kita. Saat anak tak naik
kelas, suami istri saling menyalahkan. Sikap saling menyalahkan justru membuat hubungan
dalam keluarga menjadi semakin renggang yang berkembang ke sikap saling curiga
dan prasangka.
Ketika kita
membangun hidup berkeluarga, maka apapun yang terjadi dalam keluarga adalah
menjadi
milik berdua.
Tanggung jawab itu harusnya dipikul oleh suami istri bersama. Karena sejak awal
kita berlutut dan bersujud mengucapkan janji dan ikrar di hadapan LAOMU, bahwa
kita berkomitmen untuk
membangun
keluarga yang 'saling' (saling mengasihi, saling menghormati, saling percaya,
saling toleransi, saling memotivasi, saling membangun) . 'Saling' artinya
antara dua orang, bukan lagi satu orang. Karena itu kita harus memahami bahwa
ketika kita sudah memasuki kehidupan berkeluarga maka kepentingan keluarga
harusnya kita tempatkan di atas ego pribadi sendiri. Bukan sebaliknya ego
pribadi di atas kepentingan keluarga. Untuk itulah maka setiap pasangan harus mempunyai
jiwa refleksi untuk melihat kesalahan sendiri, bukan hanya melihat kesalahan
pasangan melulu.
Ketika terjadi
masalah dalam keluarga, betapa indahnya jika masing-masing dari pasangan untuk
selalu
berintrospeksi atas apa yang terjadi. Menilik kontribusi kesalahan diri sendiri
atas apa yang terjadi,
bukan
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan pasangan. Ketika anak malas belajar
dan hanya suka main game , suami
melihat diri sendiri adakah sebagai ayah terlalu sibuk bekerja, tak ada
komunikasi dengan anak sehingga anak
lebih menenggelamkan diri dengan game. Sebagai istri juga kesalahan sendiri
adakah
ibu kurang
perhatian kepada terlalu memanjakan anak. Jika selalu melihat kesalahan
sendiri, Maka kita akan bisa membawa perubahan dan menemukan solusi memecahkan
masalah keluarga. Tetapi jika hanya kesalahan pasangan, maka selamanya tak ada
solusi yang bisa kita temukan dalam memecahkan masalah keluarga. Selalu melihat
kesalahan diri dan inilah keluarga yang bertobat Dengan sikap demikian kita
bisa membangun keluarga yang lebih baik dan harmonis dari hari ke hari.
Menyadari manusia banyak kekurangan.
Kita harus
menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kita masih berada dalam
kebodohan dan kesesatan sehingga dalam banyak hal kita bisa bertindak tidak bijaksana.
Jika kita menyadari kita sendiri masih tidak sempurna, maka demikian juga dengan
pasangan kita juga manusia yang tak sempuma. Karena itu kita harus bisa
memaklumi pasangan kita jika ada hal yang tak sempuma yang dia lakukan.
Memiliki sikap hati yang memaklumi penting dalam membangun keharmonisan hidup
dalam berumah tangga. Inilah langkah mengikuti Buddha
Maitreya.
Membangun
kebahagiaan dan keharmonisan dalam keluarga haruslah menjadi tugas bersama. Keharmonisan
tak akan bisa digapai jika hanya salah satu pasangan saja yang berusaha bersikap
mengalah. Karena sering terjadi sikap mengalah salah satu pasangan malah
dianggap negatif oleh pasangannya. Seorang istri berusaha
untuk mengalah
dan tak mau membahas lebih lanjut masalah yang sedang dihadapi antara suami
istri, dengan pemikiran tak mau mencari keributan dan memperpanjang masalah.
Sedang sang suami berpikir kalau ada masalah harus dibahas dan diselesaikan
sampai tuntas. Ketika melihat sikap istrinya sang suami malah curiga bahwa
istri menyembunyikan sesuatu. Karena itu harusnya sikap memaklumi itu harus disandingkan
dengan kata 'saling'. Jadi suami istri harus bisa saling memaklumi, bukan salah
satu saja.
Maafkan saya
Ketika kita
tak sengaja melakukan kesalahan kepada orang lain, kita bisa dengan mudah
mengucapkan
kata 'maaf'. Tapi
sering terjadi ketika kita melakukan kesalahan kepada orang yang dekat dengan
kita,
terutama suami
atau istri kita, sangat jarang mengucapkan kata 'maaf. Kita menganggap kan suami
atau istri
orang sendiri,
atau kita menganggap diri benar sedang pasangan kita yang salah. Tanpa sengaja
suami
istri yang
sedang berjalan berpapasan karena buru- buru sehingga tersenggol dan istri terjatuh.
Bukannya meminta maaf dan menolong istri, sang suami malah mengatai istrinya,
"Kalau jalan itu lihat ke depan!"
Sewaktu
pacaran mungkin kita akan memberikan respon yang penuh perhatian, tapi saat
pacar kita
sudah menjadi
suami atau istri kita, maka segalanya menjadi berubah.
Karena itu
dengan mudah kita akan bisa mengucapkan 'Maafkan saya' kepada pasangan kita
dengan sebuah penyesalan.
Sebagai pasangan kita juga harus bisa membuka hati untuk selalu bisa memaafkan pasangan
kita. Ingat, bahwa tak ada manusia yang sempurna. Kan lebih baik mengucapkan
kata 'maafkan saya' daripada saling ngotot dengan kebenaran sendiri yang belum
tentu benar. Mari kita belajar meneladani Buddha Maitreya untuk saling memaafkan
dan memaklumi.
Membangun
keluarga Maitreyani adalah membangun keluarga yang mendekatkan diri kepada
LAOMU
dan Buddha
Maitreya; keluarga yang selalu bersujud dan bertobat. Di bawah tuntunan kasih
Buddha
Maitreya,
kearifan dibukakan, semoga dalam menghadapi setiap masalah dalam keluarga kita bisa
hadapi dengan sikap seperti Buddha Maitreya dan diberkahi dengan kearifan.
Kembangkan sikap yang introspektif dalam diri, maka kerukunan dan keharmonisan
bisa kita bina dalam keluarga kita.
(
Sumber : Ceramah MP Halim Zen Bodhi )
No comments:
Post a Comment